Feeds:
Posts
Comments

Posts Tagged ‘tea latte’

Jujur aja saya bukan coffee addict, jadi saya hanya minum kopi begitu bangun tidur. Itu pun cukup satu mug saja for the rest of the day. Buat saya, gak enak kalo minum kopi siang-siang atau sore-sore (padahal siang/sore lebih banyak jam ngantuk ya). Lebih pas kalo bangun tidur lalu ngopi. Ya, sambil nulis blog, atau sambil cek email. Kebiasaan ini sudah berlangsung dari dulu saya masih di Perth, dibawa sampe KL, diteruskan sampe London, dan dibawa balik ke Jakarta hingga sekarang ini, bahkan ketika saya travelling juga harus ngopi pagi2. Ketika saya menulis post yang ini pun ada se-mug kopi di samping saya. Setelah membaca pro-kontra tentang kandungan caffein di kopi itu sendiri, ternyata gak membuat saya menyerah begitu saja. Coffee is Coffee. Caffein is Caffein. Something that is too much is not good. Ya termasuk si kopi itu tentunya, dan berlaku juga untuk yang lain.

Dengan menjamurnya gerai Starbucks di Jakarta itu sendiri, plus rivalnya yang menurut saya si Coffee Bean (correct me if I am wrong, atau ada yang lain). Saya jujur aja belom pernah mencoba kopi dari salah satunya. General opinion, teman-teman saya yang coffee addicts tetep aja setia sama si putri duyung hijau itu. Sementara on the other end, Coffee Bean juga mati-matian mempertahankan market sharenya dari peminum kopi seantero Jakarta.

Uniformity dan consistency. Itu kuncinya. Mulai dari interior, sofa, background music, jenis kopi, dan konsistensi dari setiap kopi yang dibuat, hingga rasanya sama, nendangnya pas dengan tingkat ketajaman yang sesuai harapan anda, setiap kali anda memesan minuman tersebut.

Tidak berapa lama, saya pun tergoda untuk mencicipi ‘Full-leaf tea latte’ yang diiming-imingkan Starbucks. Saya lupa, ada 3 pilihannya, chai latte, cinnamon something dan robusta something kalau saya gak salah ingat. Selama ini saya selalu memesan Chai Tea latte kesukaan saya di Coffee Bean dan memang belum pernah mengecewakan saya. Lebih authentic, karena bener2 dicampur itu teh dan susu. Sepintas rasanya kaya teh tarik, tapi yang ini lebih  berasa bumbu2nya dan spices nya. Plus ekstra cinnamon powder itupun kalau anda suka. Akhirnya mampirlah saya ke Starbucks, bayangan awal bisa menandingi si rivalnya itu. Ternyata saya salah besar. Minuman saya itu tidak sesuai yang saya harapkan. 33ribu untuk yang paling kecil. Rasanya tawar kaya kebanyakan air. Spicesnya pun malu-malu berasanya. Setelah saya perhatikan ternyata si Starbucks dibantu pake teh celup suatu merk terkenal untuk mem’boost up’ rasa si chai tea itu. Saya pun berusaha menghibur diri, minuman sekelas Starbucks gitu loh, saya coba menikmatinya siapa tau it gets better.  Ternyata usaha saya gagal, si Tea latte yang ini tidak semenarik posternya yang dipampang di depannya.

Oh well, mungkin anda berpikir, udah tau tempat specialist kopi, kenapa pesen teh juga. Yaaa, boleh dong mencoba, kalau dari semua segi udah sama ataupun mirip, pasti ada something yang membuat nya beda. Namanya juga anak marketing, buntut2nya balik lagi ke product differentiation, atau USP: Unique Selling Proposition. Ternyata dimenangkan oleh si teh yang dibuat sama Coffee Bean. Kalau anda penasaran, coba deh bandingkan, tapi jangan minta gak pake susu yah tehnya, karena judulnya aja tea latte, ya pasti teh susu lah dibuatnya. Finally, kalau anda tetap memutuskan kalo si putri duyung ijo juaranya ya silahkan, mau berpaling ke biji kopi itu juga ya monggo.. Fair competition as a result of a fair-trade begitu lah kira-kira..

Lalu saya sempat berpikir, ini pasti ada hubungannya dengan branding. Ya, maksudnya, secup coffee yang anda bawa kemana mana itu somehow menunjukkan status sosial anda loh. Karena memang harga yang berbicara. Meskipun rasa belakangan aja. Anda pasti akan merasa I-have-got-this-cup-of-Starbucks-in-my-hand, coba bandingkan kalo se-cup kopi yang anda bawa itu merknya Kopi tubruk biasa, bukan ikan duyung hijau logonya, dan bukan coklat abu-abu warnanya. Kayanya biasa aja bukan? atau membuat anda seperti layaknya rakyat jelata biasa.

Read Full Post »